Pertempuran antara pasukan VOC dan Trunajaya
- Museum Kota Lama
- Aug 23, 2023
- 2 min read
Updated: Sep 10, 2023
1676

The crown of Mataram: historical account of the Dutch's first campaign in the interior of Java
Sumber: De kroon van Mataram: historisch verhaal van den eersten krijgstocht der Nederlanders in de binnenlanden van Java [J. Hendrik van Balen , 1890]
Kota Semarang jatuh di bawah penguasaan Trunajaya yang melakukan perlawanan terhadap Amangkurat I Mataram dan tentara VOC.
Urutan peristiwa sebelumnya:
1674 - Trunajaya memulai gerakan perlawanan terhadap Amangkurat I dengan kekuatan 9.000 prajurit, didukung oleh laskar dari Madura dan Makassar sehingga berhasil merebut Surabaya.
Terpecahnya aliansi Trunajaya dengan Mas Rahmat (Amangkurat II) karena diingkarinya kesepakatan awal; Trunajaya berjanji sebelumnya menyerahkan wilayah kekuasaan yang telah diraih kepada Mas Rahmat; Mas Rahmat akhirnya berbalik memihak ayahnya, yakni Amangkurat I.
Peristiwa terkait:
1676 - Raden Kajoran yang juga merupakan ayah mertua Trunajaya ikut melakukan perlawanan dengan fokus pergerakan melalui wilayah pedalaman. Buah dari gerakan tersebut yakni berhasil dikuasainya sebagian besar wilayah atau kota penting di pesisir Jawa Tengah; termasuk Semarang, Demak, Kudus dan Pati.
April 1677 - Laksamana Cornelis Speelman beserta pasukan VOC berhasil merebut kembali Surabaya. Trunajaya dan pasukannya mundur ke arah Kediri.
Juni 1677 - pasukan pemberontak Aliansi Trunojoyo, yang dipimpin oleh Raden Kejoran berhasil menembus pertahanan Mataram dan merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat (putranya) melarikan diri ke arah barat.
13 Juli 1677 - Amangkurat I meninggal dan dikebumikan di suatu tempat bernama Tegalarum (sebelah selatan Tegal), Mas Rahmat ditunjuk sebagai pengganti raja Mataram dengan gelar Amangkurat II.
September 1678 - Gubernur Jenderal Anthonio Hurdt dan Amangkurat II memulai kampanye militer dengan tujuan menyerang dan menghancurkan benteng pertahanan terakhir Trunjaya di Kediri melalui pedalaman Jawa.
25 November 1678 - VOC dan Amangkurat II berhasil menguasai Kediri. Trunajaya sekali lagi melarikan diri ke arah pedalaman Jawa Timur; di daerah perbukitan, ketika pasukan VOC dan pasukan Mataram memporak-porandakan kota berbenteng Trunajaya.
Amangkurat II tanpa sepengetahuan pihak VOC melakukan kontak dengan Trunajaya. Amangkurat II meminta agar Trunajaya menyerahkan diri, tunduk kepada raja dan mengakhiri perlawanan. Trunajaya tidak memberikan jawaban, namun justru memberikan saran yang membujuk raja untuk melepaskan diri dari persekutuan dengan VOC dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Majapahit yang lama.
Amangkurat II tidak memberikan respon terhadap saran ini, tetapi mengambil inisiatif dan memerintahkan kapten VOC Jonker dari Ambon dan anak buahnya untuk mencari Trunajaya di dataran tinggi dan membawanya sebagai tawanan.
September 1678 - Pasukan VOC di bawah komando Kapten Jan Albert Sloot bergerak untuk menggempur benteng pertahanan terakhir Raden Kajoran di Mlambang, Gunung Kidul. VOC berhasil menguasai Mlambang, Raden Kajora menyerahkan diri, namun Sloot memerintahkan untuk membunuh Raden Kajoran.
Akhir tahun 1679 - Trunajaya tertangkap di pedalaman Jawa Timur dan diserahkan kepada Amangkurat II dengan perlakuan sebagai tawanan kehormatan Komandan VOC.
Januari 1680 - Trunajaya ditikam menggunakan keris oleh Amangkurat II di Payak, ketika diadakan acara kunjungan seremonial kerabat kerajaan. Alasan utama tindakan yang banyak disanksi-kan oleh kedua belah pihak ini adalah; Amangkurat II khawatir Trunajaya akan menyusun skema dan mengambil tindakan untuk membubarkan persekutuan VOC dan Kerajaan Mataram yang menjadi sandaran bagi Amangkurat II untuk memenangkan takhta.

Lukisan yang menggambarkan Pangeran Amangkurat II menikam pemberontak Trunajaya dengan kerisnya yang bernama "Kyai Blabor", yang dibawa ke hadapannya bersama kedua istrinya; Klinting Koening dan Klinting Woengoe. Padahal panglima pasukan VOC; Couper dan Kapten Jonker, komandan pengawal Pangeran, telah menjanjikan nyawa kepada Trunajaya.
Sumber: Royal Institute of Linguistics and Anthropology in Leiden/ oleh J.H. Maronier. - 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1967.